Aliansi Jurnalis Independen


UU ITE dan Hatzaai Artikelen Gaya Baru
April 10, 2008, 1:08 pm
Filed under: Berita | Tags: , ,

Ada sejumlah pasal dalam UU ITE yang potensial memberangus kebebasan pers dengan ancaman pidana lebih berat dibanding KUHP.

Penghujung Maret 2008, DPR mengesahkan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi Undang-undang. Regulasi yang telah dirancang sejak 1999 itu mengatur banyak hal, mulai dari kegiatan hacking, transaksi via sistem elektronik, hingga soal hak kekayaan intelektual, berikut ketentuan tentang ancaman sanksi pidananya.

Seperti hampir semua, RUU ITE juga memiliki dua sisi mata uang. Pemerintah jelas dibikin sumringah RUU usulan mereka disetujui Parlemen. Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh—sebagai pihak yang paling dekat dengan pelaksanaan wet ini—sampai mengkaitkan pengesahan UU ITE ini dengan peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional.

Lain halnya tanggapan dari para pejuang kebebasan informasi, termasuk Dewan Pers. Pada Senin (7/4), Dewan Pers menyatakan keberatan dengan UU tersebut. Mereka merasa tidak dilibatkan sama sekali dalam proses legislasi. Padahal kemunculan UU ITE dengan sejumlah pasalnya, ternyata dinilai sebagai babak baru pemberangusan kebebasan pers. Salah satunya adalah kemunculan hatzaai artikelen gaya baru.

Dewan Pers cukup terganggu dengan keberadaan pasal 28 UU ITE. Pada ayat (2) disebutkan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras, agama, dan antargolongan”.

Pidana bagi yang melanggar aturan informasi dan transaksi elektronik tidak tanggung-tanggung. Maksimum enam tahun mendekam bui dan/atau denda paling banyak Rp1miliar. Uniknya, ketentuan serupa sebenarnya sudah termaktub dalam pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bedanya, ancaman hukuman yang digariskan KUHP lebih irit, maksimum empat tahun penjara.

Khusus untuk penodaan agama, KUHP mengatur lebih rigid dalam pasal 156a. Hukumannya maksimum juga masih kalah dengan UU ITE, cukup 5 tahun bui saja. Pun begitu, penerapan pasal itu juga tidak mudah karena pengenaannya harus melibatkan sejumlah instansi. Contoh yang dijerat menggunakan pasal tersebut adalah Musaddeq—mantan pimpinan Al-Qiyadah Al Islamiyah.

Menurut Dewan Pers, selain pasal 28 ayat (2) tersebut, ternyata masih ada pasal 27 UU ITE yang tidak kalah mencengangkan. Di situ terdapat pemidanaan anyar buat penyebar dokumen elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman. Semua ketentuan itu sebenarnya sudah termaktub dalam KUHP. Baru-baru ini, Bersihar Lubis—seorang wartawan senior— dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Depok gara-gara menulis kolom yang dianggap bermuatan unsur penghinaan terhadap institusi penguasa umum.

Padahal, menurut Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan, pasal 5 UU ITE sebenarnya sudah menegaskan bahwa informasi atau dokumen elektronik berikut hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. “Sudah diakui sebagai alat bukti yang sah sesuai hukum acara di Indonesia,” kata Manan lewat saluran telepon.

Perluasan alat bukti merambah pada dokumen elektronik ini memang patut diacungi jempol sebagai kemajuan. Apalagi hal itu bisa digunakan untuk perkara-perkara yang selama ini sulit dibuktikan lantaran belum diakuinya alat bukti elektronik. Namun kalau ketentuan itu masih ditambah pemidanaan baru yang mengancam kebebasan informasi terutama bagi kalangan pers, kata Manan, ”hal itu perlu dikaji lagi. Informasi adalah hak publik. Apalagi pidananya lebih berat dari yang ada di UU Pers.”

Saat ini AJI Indonesia tengah mendalami isi dari UU ITE dalam perspektif pers. Jika nanti hasil kajian terhadap UU itu memang potensial merugikan kebebasan pers, AJI bakal mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Setidaknya, dari perbedaan pemidanaan antara media elektronik dan media cetak bisa tergolong sebagai penegakan hukum yang diskrimatif. Cuma, rencana itu belum matang. “Kita lihat nanti,” ujarnya.

Staf Ahli Depkominfo Bidang Hukum Edmon Makarim mengatakan, insan pers tak perlu kuatir terkekang kebebasan oleh keberadaan UU ITE. Sebab, wet tidak menyebut pers secara khusus dalam pasal-pasalnya. Dia mengatakan, UU ITE bukan dibuat dengan semangat mengekang kebebasan informasi, tapi menurutnya, banyak hal di dunia maya yang memang perlu diatur.

Menurut dosen pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda perbedaan berat pemidanaan itu wajar. Ia menilai, distribusi informasi lewat elektronik relatif lebih cepat dan covering yang amat luas. Lain halnya dengan cetak yang relatif memakan waktu dan luas sebaran informasi terbatas. “Internet bisa menyebar tak terbatas. Efek dari penyebaran yang tak terbatas itu kan juga lain,” jelas Chaerul.

Chaerul menambahkan, untuk menjerat pidana terhadap pers yang menyebar informasi lewat jaringan elektronik, asas yang berlaku tetap lex specialis derogat legi generalis. UU Pers, menurut Chaerul, masih tetap merupakan aturan khusus untuk memidanakan kesalahan yang dilakukan oleh pers.

(NNC)

Hukum Online, [9/4/08]


Leave a Comment so far
Leave a comment



Leave a comment