Aliansi Jurnalis Independen


Sarasehan AJI soal Pemilu Presiden
May 27, 2004, 1:18 pm
Filed under: Kliping

Kompas, Kamis, 27 Mei 2004
DAERAH SEKILAS

Yogyakarta – Pemilihan presiden 5 Juli mendatang akan diwarnai konflik antarkelompok pendukung calon presiden tertentu. Akibatnya, wartawan akan terkena dampak konflik tersebut berupa tindak kekerasan. Demikian kesimpulan sarasehan “Pemilu Presiden Tanpa Kekerasan terhadap Wartawan”, yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta dan South East Asian Press Aliance (SEAPA) Jakarta, di Yogyakarta, Rabu (26/5). (J12)



Waspadai Demokrasi Jadi Otoritarianisme
May 24, 2004, 2:51 pm
Filed under: Kliping

Kompas, Senin, 24 Mei 2004

Jakarta, Kompas – Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia perlu dipribumikan atau dikontekskan dengan budaya Indonesia. Perkembangan demokrasi perlu diwaspadai agar tidak kembali menuju otoritarianisme. Apalagi yang kini dikembangkan adalah demokrasi yang prosedural, tidak lagi substantif. Continue reading



Satu Kilometer Sepanjang “Jalur Gaza” Ambon
May 21, 2004, 2:46 pm
Filed under: Kliping

Kompas, Jumat, 21 Mei 2004

“WARGA kami tidak ikut turun ke Ambon. Kami hanya melihat saja karena konflik itu hanya satu titik. Ini bukan soal agama seperti tahun 1999, tetapi semata-mata soal RMS,” kata Abdulrahim Nasela, tetua Desa Hitu Messeng, yang menjadi salah satu pusat pemerintahan dan penyebaran agama Islam di Pulau Ambon pada masa lalu.

SATU titik yang disebut Nasela tidak lain adalah ruas jalan sepanjang satu kilometer di kawasan Waringin Talake, salah satu wilayah perbatasan komunitas Muslim dan Kristen di Ambon. Di situ pertempuran sengit terjadi antarwarga kedua komunitas selama hampir seminggu sejak hari pertama kerusuhan terbaru di Ambon, yang dipicu aksi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS), 25 April 2004. Dari aksi lempar batu, serang-menyerang dengan senjata tajam, batu, dan bom molotov, tembakan senapan dan rangkaian bom rakitan berlangsung berhari-hari sejak Minggu (25/4) sore. Di situ pula korban sasaran sniper berjatuhan.

Jamil (15) menceritakan, saat ia ikut melakukan penyerangan di Waringin, seorang kawannya jatuh terkena tembakan sniper di kepala. Beberapa saat setelah itu peluru mengenai anggota tubuh kirinya. “Pas merayap ada tembakan susulan, tetapi tidak ada yang kena,” tutur Jamil. Hari itu sekitar 10 orang tewas. Sejumlah anak terkena luka bakar yang cukup parah di sekujur tubuh saat sebuah bom molotov menerjang drum penyimpanan minyak dan meledak.

Kawasan Waringin-Talake merupakan tempat permukiman padat. Sejumlah sekolah berlokasi di situ. Termasuk kantor alternatif gubernur yang menempati gedung Telkom. Sebelum aksi peringatan RMS, gubernur telah menginstruksikan dinas-dinas untuk mengosongkan tempat itu. “Ada satu dinas yang tidak mau mendengar instruksi saya,” kata Gubernur Maluku Karel Ralahalu.

Di Kawasan Waringin, Talake, Batu Gantung, itu ratusan rumah warga terbakar. Juga terbakar dua sekolah, salah satunya, SMA Muhammadiyah, dan gedung Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM). Beberapa waktu setelah pertempuran reda, daerah itu masih menjadi sasaran aksi. Dua orang ditangkap, Abaye (29) dan Ruslan (32), di kawasan tersebut karena kedapatan membawa bom. Pada siang hari kawasan itu sunyi sepi, hanya ada aparat yang berjaga- jaga. Sampai saat ini pada malam hari kawasan itu gelap gulita. Warga bergerombol di luar jalur yang pernah menjadi medan pertempuran itu.

Korban akibat kerusuhan pasca-aksi pengibaran bendera RMS, 25 April, begitu besar. Sedikitnya 38 orang tewas, 200 orang luka-luka, dan ribuan orang kembali mengungsi. Tercatat pula sebuah universitas dan tiga gedung sekolah, dua tempat ibadah, gedung perwakilan Perserikatan Bangsa Bangsa, dan 536 rumah penduduk hangus terbakar. Kerusuhan itu juga mengakibatkan terputusnya kembali interaksi antara komunitas Muslim dan Kristen di Ambon yang sudah berlangsung hampir dua tahun. Bahkan, pasar transaksi yang menghubungkan penghidupan antara masyarakat Muslim dan Kristen di Ambon sampai hari ini tidak bisa berjalan.

APA jawaban pemerintah terhadap kerusuhan itu? Seminggu setelah kerusuhan, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku mengajukan proposal biaya penanganan pascakonflik sebesar Rp 1,59 triliun. Proposal itu disampaikan Karel Ralahalu kepada pemerintah melalui Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah yang berkunjung ke Ambon, Selasa (4/5). Pemerintah pusat kemudian setuju mengucurkan dana pemulihan konflik sebesar Rp 33 miliar. Tambahan personel militer dan Brimob pun kembali dikirim. Hampir-hampir tidak ada upaya pemerintah untuk menyelidiki atau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Rencana aksi pengibaran bendera RMS di rumah dr Alex Manuputty pada 25 April begitu terang benderang. Menjelang 25 April, Maluku dinyatakan dalam siaga I. Sebanyak 560 personel Kepolisian Daerah (Polda) Maluku dan 430 personel Kodam XVI Pattimura disiagakan. Pada bulan Maret, Pangdam Pattimura Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Syaifudin Summah telah membuat pernyataan bahwa pihaknya telah menyiagakan pasukannya dan “tidak mau kecolongan bila RMS melakukan hal-hal yang mengacaukan keutuhan negara”. Akan tetapi, sebuah bendera RMS, Jumat (23/4), berkibar di dekat pos Arhanud 11 TNI AD di Karang Panjang, Ambon. Di Polda, setelah insiden itu, kepada pers, Syaifudin menyatakan telah menginstruksikan tembak di tempat bagi mereka yang tertangkap basah melakukan pengibaran bendera RMS.

Upacara pengibaran bendera memperingati 54 tahun RMS tetap bisa berjalan. Hampir dua jam bendera berkibar di halaman rumah Alex. Tidak ada tembak di tempat, tidak ada penindakan segera. Yang terjadi justru iring-iringan massa bersama para simpatisan dan pendukung Front Kedaulatan Maluku/Republik Maluku Selatan (FKM/RMS) mengikuti Sekjen FKM/RMS Moses Tuanakotta yang digiring dari Kudamati ke Polda Maluku. Seluruh yel-yel, lagu-lagu, dan bendera RMS menyertai iring- iringan itu sehingga tidak salah bila segera berkembang isu bahwa Polda mengamankan pawai RMS. Pawai itu mengakibatkan munculnya massa tandingan di kalangan komunitas Muslim di Ambon. Itu tidak terlalu mengherankan karena selama empat tahun konflik Maluku, keberadaan RMS dicoba dikaitkan dengan warga Kristen melalui pelabelan Kristen-RMS.

Ketika iring-iringan massa dan pendukung FKM/RMS balik dari Polda, massa yang membawa bendera merah putih menghadang dari wilayah permukiman Muslim di perempatan Tugu Trikora. Di situ bentrok terjadi. Mula-mula hanya lempar-lemparan batu, kemudian terjadi pembakaran kios bahan bakar, tetapi segera terdengar rentetan tembakan dan aksi para penembak jitu. Ketika korban berjatuhan, serentak kerusuhan itu menyebar ke beberapa tempat di Ambon, seperti Poka, Mardika, Talake, dan Pohon Pule.

Konflik yang terjadi tidak bisa disederhanakan dengan penjelasan konflik antara pendukung RMS dan pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dimensi-dimensi konflik komunal berlatar belakang agama masih sangat kental. Dalam waktu singkat, komunitas Muslim dan Kristen kembali berhadap-hadapan di perbatasan permukiman kedua komunitas di hampir seluruh wilayah di Ambon. Penyerangan kapal Doloronda yang menyebabkan tiga orang tewas, 18 luka-luka, dan beberapa lainnya hilang tidak ada hubungan sama sekali dengan urusan FKM/RMS. Disusul kemudian dengan peristiwa pembakaran Gereja Nazaret dan sejumlah rumah penduduk di Karangpanjang, Rabu (28/4) sekitar pukul 03.00 dini hari.

UPAYA pihak-pihak tertentu untuk mengobarkan lagi konflik Maluku telah kandas sekalipun ada usaha-usaha untuk memperluas konflik yang terjadi pasca-aksi pengibaran bendera RMS. Di Pulau Buru, sejumlah orang tidak dikenal melakukan penembakan ke arah penduduk dengan menggunakan perahu cepat. Dua orang tewas dan enam lainnya luka- luka. Penembakan juga terjadi di Latuhalat yang menyebabkan seorang luka-luka. Desas- desus akan ada penyerangan hampir tiap hari terdengar, bunyi bom sesekali terdengar di malam hari, tetapi provokasi semacam itu tidak lagi memancing amarah massa.

Sr Brigitta Renyaan, aktivis perempuan yang terlibat dalam kegiatan resolusi konflik di Maluku, mengatakan bahwa ia sempat kecewa karena masyarakat di Ambon bisa dengan mudah ditarik kembali dalam konflik. Masyarakat Ambon, kata Brigitta, memang dijebak untuk ikut dalam konflik karena begitu kuatnya isu disertai ancaman kekerasan. Akan tetapi, menurut dia, respons masyarakat tidak seperti dulu. Masyarakat pada dasarnya telah jenuh dan lelah dengan situasi konflik.

“Situasi sekarang jauh berbeda dengan konflik pada tahun 1999. Dulu serangan terjadi terus-menerus, siang malam, tanpa berhenti. Sekarang kekerasan memang terjadi, tetapi hanya sekali-sekali dan cepat berhenti,” kata Renyaan.

Berbagai spekulasi muncul mengapa konflik di Ambon meletup lagi hanya gara-gara aksi sekelompok orang yang melakukan aksi pengibaran bendera RMS. Aksi itu hampir rutin dilakukan tiap tahun dan pemerintah tidak menumpas gerakan itu sekalipun gerak-gerik tokoh FKM/RMS begitu mudah ditangkap oleh masyarakat awam. Puluhan aparat intelijen dari Kopassus masih diterjunkan di Ambon. Institusi kodam telah kokoh berdiri, gubernurnya pun punya latar belakang militer. Di kalangan masyarakat Ambon berkembang berbagai macam analisis konspirasi, seperti kerusuhan ini dibuat sebagai alasan pemberlakuan darurat militer karena status darurat militer di Aceh akan disudahi. Ada yang mengaitkan kerusuhan terakhir sebagai upaya untuk mendiskreditkan pasangan calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Ada pula yang mengaitkannya dengan upaya untuk meyakinkan calon pemilih di tingkat nasional, presiden kelak harus di tangan militer bila ingin Indonesia aman.

Jacky Manuputty, Sekretaris Pusat Pengendalian Krisis Gereja Protestan Maluku, mengatakan bahwa asumsi dan analisis yang berkembang di tengah masyarakat sah-sah saja sepanjang tidak ada klarifikasi.

“Asumsi itu bisa benar atau keliru. Sejauh ini memang tidak ada upaya pemerintah untuk melakukan klarifikasi mengapa konflik bisa begitu cepat terpicu dan berkembang,” ujarnya.

Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan memang terjadi pembiaran aksi pengibaran bendera RMS pada 25 April dan kerusuhan yang menyusul setelahnya. Aparat militer, kepolisian, maupun pemerintah daerah persis mengetahui rencana aksi itu dan kemungkinan bentrokan di masyarakat yang di timbulkannya. Tokoh-tokoh FKM/RMS telah membuat pernyataan terbuka di media massa lokal, sebaliknya juga beberapa tokoh Muslim yang kemudian membentuk posko Anti-RMS. Pada saat bendera dikibarkan, arak-arakan massa dan pendukung RMS, sampai bentrok terjadi, hanya segelintir aparat yang terjun di lapangan. Tidak ada gas air mata dan peralatan pengendali huru-hara disiapkan, tetapi peluru tajam. Wajar kalau muncul tudingan bahwa pemerintah seolah-olah telah membiarkan semua terjadi dengan semua akibat yang ditimbulkannya, termasuk 38 nyawa melayang sia-sia.

Pembiaran dan tidak adanya penegakan hukum, pengungkapan kebenaran dalam konflik Maluku juga disorot oleh sejumlah aktivis resolusi konflik, para peneliti, dan tokoh Maluku, dalam diskusi tertutup yang diselenggarakan Pusat Penelitian Politik LIPI, Aliansi Jurnalis Independen, dan Institut Titian Perdamaian di Jakarta, 31 April 2004. Direktur Eksekutif Institut Perdamaian Ichsan Malik menyatakan bahwa konflik di Ambon meletup lagi karena tidak berjalannya proses penegakan hukum, sistem komunikasi dalam masyarakat yang macet, dan agenda penanganan pascakonflik terbengkalai.

“Tidak ada proses belajar selama empat tahun konflik yang membuat masyarakat Maluku hancur lebur,” kata Ichsan.

Dugaan keterlibatan oknum militer dalam kerusuhan pasca-25 April sangat kuat. Dalam peristiwa pembakaran Gereja Nazaret dan sejumlah rumah warga di Karangpanjang, sejumlah saksi menunjuk keterlibatan sejumlah oknum aparat militer dari Arhanud 11 TNI-AD. Warga di Hative Kecil, Ambon, memergoki tiga aparat dari kesatuan tersebut berfoto ria dengan menggunakan bendera RMS. Di Tanah Tinggi, seorang pemuda diminta berpose dengan M-16 dan diedarkan di wilayah komunitas Muslim dengan menyebutnya sebagai “rambo RMS”. Tiga peristiwa yang diduga melibatkan aparat dari kesatuan tersebut menjadi catatan resmi Pusat Penanggulangan Krisis GPM.

Pangdam Pattimura Mayjen Syarifudin Summah menyatakan bahwa tindakan tiga oknum Arhanud 11 hanyalah action belaka. Tiga aparat militer dari Arhanud 11 itu bersama komandan kompi akhirnya ditahan di Pomdam XVII Pattimura untuk diproses lebih lanjut. Beberapa hari setelah itu, Koptu Benyamin Yakob Sinay dari Kodim 1504 Ambon juga ditangkap karena terlibat dalam kegiatan FKM/RMS.

Suriadi, aktivis Posko Anti- RMS, menyatakan bahwa mereka memercayakan kepada TNI-Polri untuk menuntaskan persoalan FKM-RMS sampai ke akar-akarnya. Akan tetapi, Suriadi juga mengancam apabila TNI-Polri sampai batas waktu yang ditetapkan tidak bisa menyelesaikan persoalan, mereka akan melakukan penyelesaian dengan cara mereka sendiri. Posko Anti-RMS yang dipimpin Salim Bahasoan yang diberi jabatan sebagai panglima juga mengeluarkan pernyataan “tidak ada kata damai bagi umat Islam dalam bentuk apa pun sepanjang FKM-RMS belum dilibas atau ditumpas oleh TNI-Polri”.

Macetnya pasar transaksi di Ambon pascaperistiwa 25 April juga tidak lepas dari seruan Posko Anti-RMS yang menyatakan “dilarang keras bagi umat Islam bertransaksi dengan umat Kristen (FKM-RMS) dalam bentuk apa pun”.

Di tengah gencarnya seruan-seruan itu, belum ada langkah yang serius dari pemerintah untuk menangani konflik yang kembali terjadi di Ambon, termasuk penanganan gerakan FKM-RMS. Tidak ada keinginan untuk mengungkap kebenaran atas apa yang terjadi. Semua dibiarkan menjadi tanda tanya, dan itu pula yang dieksploitasi oleh sekelompok orang untuk memperpanjang konflik di negeri seribu pulau itu.

Di saat situasi belum pulih, empat aktivis FKM/RMS kabur dari tahanan Polda Maluku. Pada Selasa (18/5) tiba-tiba saja sebuah bendera RMS diterbangkan ke udara dengan balon. Itu pula yang menjadi salah satu pemicu aksi unjuk rasa dan pemasangan barikade yang dilakukan Posko Anti-RMS di Jalan AY Patti, Ambon.

Pertempuran sepanjang satu kilometer di Waringin-Talake lagi-lagi menyandera seluruh warga Ambon. (P Bambang Wisudo)



AJI Serukan Jaminan Keamanan Pembebasan Fery
May 10, 2004, 10:39 am
Filed under: Berita

Senin, 10 Mei 2004     NASIONAL

JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyerukan semua pihak, baik TNI/Polri maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM), untuk memberikan jaminan keamanan saat pembebasan juru kamera RCTI Fery Santoso 13 Mei mendatang. “Kalau Wiliam Nelsen bisa bebas dengan mulus, mengapa kita tidak berkeyakinan bahwa Fery juga bebas dengan aman.” Continue reading